Berbicara tentang berbakti kepada orang tua tidak lepas dari
permasalahan berbuat baik dan mendurhakainya. Mungkin, sebagian orang
merasa lebih ‘tertusuk’ hatinya bila disebut ‘anak durhaka’, ketimbang
digelari ‘hamba durhaka’. Bisa jadi, itu karena
‘kedurhakaan’ terhadap Allah, lebih bernuansa abstrak, dan
kebanyakannya, hanya diketahui oleh si pelaku dan Allah saja. Lain
halnya dengan kedurhakaan terhadap orang tua, yang jelas amat kelihatan,
gampang dideteksi, diperiksa dan ditelaah,sehingga lebih mudah mengubah
sosok pelakunya di tengah masyarakat, dari status sebagai orang baik
menjadi orang jahat.
Pola berpikir seperti itu, jelas tidak benar, karena Allah menegaskan dalam firman-Nya, (yang artinya) :
“Allah telah menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23)
Penghambaan diri kepada Allah, jelas harus lebih diutamakan. Karena
manusia diciptakan memang hanya untuk tujuan itu. Namun, ketika Allah
‘menggandengkan’ antara kewajibanmenghamba kepada-Nya, dengan kewajiban
berbakti kepada orang tua, hal itu menunjukkan bahwa berbakti kepada
kedua orang tua memang memiliki tingkat urgensi yang demikian tinggi,
dalam Islam. Kewajiban itu demikian ditekankan, sampai-sampai Allah
menggandengkannya dengan kewajiban menyempurnakan ibadah kepada-Nya.
Urgensi Berbakti kepada Dua orang Tua
Ada setumpuk bukti, bahwa berbakti kepada kedua orang tua –dalam
wacana Islam- adalah persoalan utama, dalam jejeran hukum-hukum yang
terkait dengan berbuat baik terhadap sesama manusia. Allah sudah cukup
mengentalkan wacana ‘berbakti’ itu, dalam banyak firman-Nya, demikian
juga Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dalam banyak
sabdanya, dengan memberikan ‘bingkai-bingkai’ khusus, agar dapat
diperhatikan secara lebih saksama. Di antara tumpukan bukti tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Allah ‘menggandengkan’ antara perintah untuk beribadah kepada-Nya, dengan perintah berbuat baik kepada orang tua:
“Allah telah menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23)
2. Allah memerintahkan setiap muslim untuk berbuat baik kepada orang tuanya, meskipun mereka kafir:
“Kalau mereka berupaya mengajakmu berbuat kemusyrikan yang
jelas-jelas tidak ada pengetahuanmu tentang hal itu, jangan turuti;
namun perlakukanlah keduanya secara baik di dunia ini.” (Luqmaan : 15)
Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Ayat di atas menunjukkan diharuskannya
memelihara hubungan baik dengan orang tua, meskipun dia kafir. Yakni
dengan memberikan apa yang mereka butuhkan. Bila mereka tidak
membutuhkan harta, bisa dengan cara mengajak mereka masuk Islam..“
3. Berbakti kepada kedua orang tua adalah jihad.
Abdullah bin Amru bin Ash meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki meminta ijin berjihad kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Lelaki itu menjawab, “Masih.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, berjihadlah dengan berbuat baik terhadap keduanya.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
4. Taat kepada orang tua adalah salah satu penyebab masuk Surga.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Sungguh kasihan, sungguh kasihan, sungguh kasihan.” Salah seorang Sahabat bertanya, “Siapa yang kasihan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang
yang sempat berjumpa dengan orang tuanya, kedua-duanya, atau salah
seorang di antara keduanya, saat umur mereka sudah menua, namun tidak
bisa membuatnya masuk Surga.” (Riwayat Muslim)
Beliau juga pernah bersabda:
“Orang tua adalah ‘pintu pertengahan’ menuju Surga. Bila engkau
mau, silakan engkau pelihara. Bila tidak mau, silakan untuk tidak
memperdulikannya.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dan beliau
berkomentar, “Hadits ini shahih.” Riwayat ini juga dinyatakan shahih,
oleh Al-Albani.) Menurut para ulama, arti ‘pintu pertengahan’, yakni
pintu terbaik.
5. Keridhaan Allah, berada di balik keridhaan orang tua.
“Keridhaan Allah bergantung pada keridhaan kedua orang tua. Kemurkaan Allah, bergantung pada kemurkaan kedua orang tua.”
6. Berbakti kepada kedua orang tua membantu meraih pengampunan dosa.
Ada seorang lelaki datang menemui Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sambil mengadu, “Wahai Rasulullah! Aku telah melakukan sebuah perbuatan dosa.” Beliau bertanya, “Engkau masih mempunyai seorang ibu?” Lelaki itu menjawab, “Tidak.” “Bibi?” Tanya Rasulullah lagi. “Masih.” Jawabnya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Kalau begitu, berbuat baiklah kepadanya.”
Dalam pengertian yang ‘lebih kuat’, riwayat ini menunjukkan bahwa
berbuat baik kepada kedua orang tua, terutama kepada ibu, dapat membantu
proses taubat dan pengampunan dosa. Mengingat, bakti kepada orang tua
adalah amal ibadah yang paling utama.
7. Berbakti kepada orang tua, membantu menolak musibah.
Hal itu dapat dipahami melalui kisah ‘tiga orang’ yang terkurung
dalam sebuah gua. Masing-masing berdoa kepada Allah dengan menyebutkan
satu amalan yang dianggapnya terbaik dalam hidupnya, agar menjadi
wasilah (sarana) terkabulnya doa. Salah seorang di antara mereka
bertiga, mengisahkan tentang salah satu perbuatan baiknya terhadap kedua
orang tuanya, yang akhirnya, menyebabkan pintu gua terkuak, batu yang
menutupi pintunya bergeser, sehingga mereka bisa keluar dari gua
tersebut. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)
8. Berbakti kepada orang tua, dapat memperluas rezki.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa
yang ingin rezkinya diperluas, dan agar usianya diperpanjang (dipenuhi
berkah), hendaknya ia menjaga tali silaturahim.” (Al-Bukhari dan Muslim)
Berbakti kepada kedua orang tua adalah bentuk aplikasi silaturahim
yang paling afdhal yang bisa dilakukan seorang muslim, karena keduanya
adalah orang terdekat dengan kehidupannya.
9. Doa orang tua selalu lebih mustajab.
Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ada
tiga bentuk doa yang amat mustajab, tidak diragukan lagi: Doa orang tua
untuk anaknya, doa seorang musafir dan orang yang yang terzhalimi.”
10. Harta anak adalah milik orang tuanya.
Saat ada seorang anak mengadu kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, “Wahai Rasulullah! Ayahku telah merampas hartaku.” Rasulullah bersabda, “Engkau dan juga hartamu, kesemuanya adalah milik ayahmu.”
11. Jasa orang tua, tidak mungkin terbalas.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Seorang anak tidak akan bisa membalas budi baik ayahnya, kecuali bila ia mendapatkan ayahnya sebagai budak, lalu dia merdekakan.” (Dikeluarkan oleh Muslim)
12. Durhaka kepada orang tua, termasuk dosa besar yang terbesar.
Dari Abu Bakrah diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Maukah kalian kuberitahukan dosa besar yang terbesar?” Para Sahabat menjawab, “Tentu mau, wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.” Beliau bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah, dan durhaka terhadap orang tua.” Kemudian, sambil bersandar, beliau bersabda lagi, “..ucapan dusta, persaksian palsu..”
Beliau terus meneruskan mengulang sabdanya itu, sampai kami (para
Sahabat) berharap beliau segera terdiam. (Al-Bukhari dan Muslim)
13. Orang yang durhaka terhadap orang tua, akan mendapatkan balasan ‘cepat’ di dunia, selain ancaman siksa di akhirat.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ada
dua bentuk perbuatan dosa yang pasti mendapatkan hukuman awal di dunia:
Memberontak terhadap pemerintahan Islam yang sah, dan durhaka terhadab
orang tua.”
Alhamdulillah. Kesemua bukti tersebut –dan masih banyak lagi
bukti-bukti ilmiah lainnya, termasuk konsensus umat Islam terhadap
urgensi berbakti kepada orang tua yang sama sekali tidak boleh
terabaikan–, kesemuanya, menunjukkan betapa bakti kepada orang tua
adalah kebajikan maha penting, bahkan yang terpenting dari sekian banyak
perbuatan baik yang diperuntukkan terhadap sesama makhluk ciptaan
Allah. Sedemikian pentingnya, hingga riwayat-riwayat yang menjelaskan
tentang adab, prilaku dan sikap seorang anak terhadap orang tuanya,
bertaburan dalam banyak hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, bahkan juga dalam beberapa ayat Al-Qur’an.
Memuliakan Orang Tua
Pemuliaan Islam terhadap sosok orang tua, amat lugas. Wujud pemuliaan
itu sudah beberapa langkah mendahului gemuruh propaganda sejenis, yang
baru-baru saja muncul belakangan ini, dari kalangan Barat. Sebut saja
contohnya: jaminan untuk kaum manula, perhatian terhadap kaum jompo dan
lain sebagainya. Kenapa demikian? Karena Islam sudah jauh-jauh hari
langsung menghadirkan ‘perintah tegas’ bagi seorang mukmin, untuk
berbuat baik kepada kedua orang tuanya.
“Telah kami pesankan seorang manusia untuk senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (Al-Ahqaaf : 15)
Ibnu Katsier menjelaskan, “Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan
kita untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, sekaligus juga
melimpahkan kasih sayang kita kepada mereka.”
“Beribadahlah kepada Allah, jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (An-Nisaa : 36)
Perintah itu, bahkan diseiringkan dengan perintah untukmengesakan
Allah sebagai kewajiban utama seorang mukmin. Sehingga amatlah jelas,
perintah itu mengandung ‘tekanan’ yang demikian kuat.
Sekarang, bandingkanlah substansi ajaran Islam itu dengan realitas
yang berkembang di berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia
sekarang ini. Banyak anak yang enggan menyisihkan sebagian waktunya,
mengucurkan keringat atau sekadar berlelah-lelah sedikit, untuk merawat
orang tuanya yang sudah ‘uzur’. Terutama sekali, bila anak tersebut
sudah berkedudukan tinggi, sangat sibuk dan punya segudang aktivitas.
Akhirnya, ia merasa sudah berbuat segalanya dengan mengeluarkan biaya
secukupnya, lalu memasukkan si orang tua ke panti jompo!!
Berbuat Baik Kepada Orang Tua
“..dan hendaklah kalian berbuat baik kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23)
Berbuat baik dalam katagori umum, dalam bahasa Arabnya disebut
ihsaan. Sementara bila ditujukan secara khusus kepada orang tua, lebih
dikenal dengan istilah birr. Dalam segala bentuk hubungan interaktif,
Islam sangatlah menganjurkan ihsan atau kebaikan.
“Sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan, untuk dilakukan dalam segala
hal. Bila kalian membunuh, lakukanlah dengan cara yang baik. Bila
kalian menyembelih hewan, lakukanlah dengan cara baik. Oleh sebab itu,
hendaknya seorang muslim menyiapkan pisau yang tajam, dan upayakan agar
hewan sembelihan itu merasa lebih nyaman.”
Ibnu Jarir Ath-Thabari menjelaskan, “Allah berpesan agar setiap orang
melakukan bakti kepada orang tua dengan berbagai bentuk perbuatan baik.
Namun kepada selain orang tua, Allah hanya memesankan ’sebagian’ bentuk
kebaikan itu saja. “Katakanlah yang baik, kepada manusia.” (Al-Baqarah :
83)
Orang tua adalah manusia yang paling berhak mendapatkan danmerasakan
‘budi baik’ seorang anak, dan lebih pantas diperlakukan secara baik oleh
si anak, ketimbang orang lain. Ada beragam cara yang bisa dilakukan
seorang muslim, untuk ‘mengejawantahkan’ perbuatan baiknya kepada kedua
orang tuanya secara optimal. Beberapa hal berikut, adalah
langkah-langkah dan tindakan praktis yang memang sudah ’seharusnya’ kita
lakukan, bila kita ingin disebut ‘telah berbuat baik’ kepada orang tua:
1. Bersikaplah secara baik, pergauli mereka dengan cara yang baik
pula, yakni dalam berkata-kata, berbuat, memberi sesuatu, meminta
sesuatu atau melarang orang tua melakukan suatu hal tertentu.
2. Jangan mengungkapkan kekecewaan atau kekesalan, meski hanya
sekadar dengan ucapan ‘uh’. Sebaliknya, bersikaplah rendah hati, dan
jangan angkuh.
3. Jangan bersuara lebih keras dari suara mereka, jangan memutus
pembicaraan mereka, jangan berhohong saat beraduargumentasi dengan
mereka, jangan pula mengejutkan mereka saat sedang tidur, selain
itu,jangan sekali-kali meremehkan mereka.
4. Berterima kasih atau bersyukurlah kepada keduanya, utamakan
keridhaan keduanya, dibandingkan keridhaan kita diri sendiri, keridhaan
istri atau anak-anak kita.
5. Lakukanlah perbuatan baik terhadap mereka, dahulukan kepentingan
mereka dan berusahalah ‘memaksa diri’ untuk mencari keridhaan mereka.
6. Rawatlah mereka bila sudah tua, bersikaplah lemahlembut dan
berupayalah membuat mereka berbahagia, menjaga mereka dari hal-hal yang
buruk, serta menyuguhkan hal-hal yang mereka sukai.
7. Berikanlah nafkah kepada mereka, bila memang dibutuhkan. Allah berfirman:
“Dan apabila kalian menafkahkan harta, yang paling berhak menerimanya adalah orang tua, lalu karib kerabat yang terdekat.” (Al-Baqarah : 215)
8. Mintalah ijin kepada keduanya, bila hendak bepergian, termasuk
untuk melaksanakan haji, kalau bukan haji wajib, demikian juga untuk
berjihad, bila hukumnya fardhu kifayah.
9. Mendoakan mereka, seperti disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Dan ucapanlah, “Ya Rabbi, berikanlah kasih sayang kepada mereka berdua, sebagaimana menyayangiku di masa kecil.” (Al-Isra : 24)
Semua hal di atas bukanlah ’segalanya’ dalam upaya berbuat baik
terhadap orang tua. Kita teramat sadar, bahwa ‘hak-hak’ orang tua, jauh
lebih besar dari kemampuan kita membalas kebaikan mereka. Mungkin lebih
baik kita tidak usah terlalu berbangga diri, kalaupun segala hal diatas
telah dapat kita wujudkan dalam kehidupan nyata. Karena orang tua adalah
manusia yang pertama kali berbuat baik kepada kita, karena dorongan
kasih sayang dan –terlebih-lebih– penghambaan dirinya kepada Allah.
Sementara kita hanya memberi balasan, setelah terlebih dahulu kita
menerima kebaikan dari mereka. Sehingga, bagaimanapun, nilainya jelas
akan berbeda.
Arti Birrul Waalidain
Perlu ditegaskan kembali, bahwa birrul waalidain (berbakti kepada kedua orang tua), lebih dari sekadar berbuat ihsan (baik) kepada keduanya. Namun birrul walidain
memiliki nilai-nilai tambah yang semakin ‘melejitkan’ makna kebaikan
tersebut, sehingga menjadi sebuah ‘bakti’. Dan sekali lagi, bakti itu
sendiripun bukanlah balasan yang setara yang dapat mengimbangi kebaikan
orang tua. Namun setidaknya, sudah dapat menggolongkan pelakunya sebagai
orang yang bersyukur.
Imam An-Nawaawi menjelaskan, “Arti birrul waalidain yaitu
berbuat baik terhadap kedua orang tua, bersikap baik kepada keduanya,
melakukan berbagai hal yang dapat membuat mereka bergembira, serta
berbuat baik kepada teman-teman mereka.”
Al-Imam Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa birrul waalidain atau bakti kepada orang tua, hanya dapat direalisasikan dengan memenuhi tidak bentuk kewajiban:
Pertama: Menaati segala perintah orang tua, kecuali dalam maksiat.
Kedua: Menjaga amanah harta yang dititipkan orang tua, atau diberikan oleh orang tua.
Ketiga: Membantu atau menolong orang tua, bila mereka membutuhkan.
Bila salah satu dari ketiga kriteria itu terabaikan, niscaya seseorang belum layak disebut telah berbakti kepada orang tuanya.
Karena berbakti kepada kedua orang tua lebih merupakan perjanjian,
antara sikap kita dengan keyakinan kita. Kita tahu, bahwa menaati
perintah orang tua adalah wajib, selama bukan untuk maksiat. Bahkan
perintah melakukan yang mubah, bila itu keluar dari mulut orang tua,
berubah menjadi wajib hukumnya. Kita juga tahu, bahwa harta orang tua
harus dijaga, tidak boleh dihamburkan secara percuma, atau bahkan untuk
berbuat maksiat. Kita juga meyakini, bahwa bila orang tua kita
kekurangan atau membutuhkan pertolongan, kitalah orang pertama yang
wajib menolong mereka. Namun itu hanya sebatas keyakinan. Bila tidak ada
‘ikatan janji’ dengan sikap kita, semua itu hanya terwujud dalam bentuk
wacana saja, tidak bisa terbentuk menjadi ‘bakti’ terhadap orang tua.
Oleh sebab itu, Allah menyebut kewajiban bakti itu sebagai ‘ketetapan’,
bukan sekadar ‘perintah’. “Allah telah menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar